Kamis, 24 Juli 2008 15:04 WIB
SURABAYA, KAMIS - Pesta demokrasi pertama di level Jatim terasa hambar di Dolly, lokalisasi paling lapang se-Asia Tenggara. Mayoritas mereka memilih golput, sebagaimana kecenderungan di luar Dolly. Demokrasi tidak lagi memesona?
Putat Jaya dan Kupang Gunung memang bukan kampung khusus mesum. Hanya saja, pekerja seks komersial (PSK) memang terkonsentrasi di kedua kampung itu. Setidaknya ada 800-an PSK yang menghuni wisma-wisma di wilayah RW 10, RW 12, dan RW 5, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. Namun, dari 800-an PSK itu tak lebih dari 10 persen yang mendatangi tempat pemungutan suara (TPS).
Kondisi sama terjadi di RW 7 dan RW 3. Para PSK memilih tetap tinggal di wisma masing-masing sambil menunggu 'tamu kesasar' di pagi hari itu. “Mas, ayo mampir, Mas. Enak mumpung masih sepi,” bujuk para makelar pada beberapa pria yang kebetulan lewat di kawasan Dolly.
Nggak ikutan nyoblos, Mbak? Ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pada beberapa penghuni wisma, mereka memperlihatkan ekspresi tidak bergairah. “Wis mari, Mas. Mau bengi. Malah ping bolak-balik. (sudah selesai, Mas. Tadi malam!)” kata Eni, penghuni salah satu wisma di Jl Putat Jaya 2A, dengan nada slengekan.
Sementara Dewi, penghuni wisma lainnya, berkomentar lebih apatis. ”Percuma, Mas. Siapa pun yang dipilih paling yo podo ae. Lagian, calon-calonnya nggak ada yang kenal. Mereka nggak pernah kampanye di sini. Mereka mana mau anggap kami ada!”
Ketika ditelurusi, ternyata tidak semua enggan menggunakan hak pilih. Sebagian besar lainnya malah tidak bisa datang ke TPS lantaran tidak mendapat undangan dari pihak RT/RW. “Sebagai warga negara, saya sebetulnya sudah berusaha menjalani aturan. Saya sudah mendaftarkan diri ke RT. Tapi nggak ada undangan, jadi otomatis saya nggak punya kartu pemilih,” ungkap Yuli yang mengaku asal Kediri.
Untuk pulang kampung dan menggunakan hak di tempat kelahiran, menurut Ima yang dari Banyuwangi, juga tidak mungkin. “Nggak imbang sama transportnya. Sekali pulang habis Rp 100.000, belum nanti mesti ninggali (uang) orang rumah. Wah, wis gak usah ae!” imbuhnya.
Kartono, warga Dolly, menyahut. “Saya aja enggak dapat kartu pemilih. Padahal, saya tinggal di sini (Putat Jaya) sejak tahun 1990-an, Jadi ya nggak ikut nyoblos, Mas,” kata Kartono yang mengaku masih mengantongi KTP Lawang, Malang.
Eko, petugas di TPS 28 RW 3 RT 5 Kelurahan Putat Jaya, mengaku, Daftar Pemilih Tetap (DPT) banyak yang tidak akurat karena menggunakan data warga tahun 1998. Tak heran jika dalam DPT itu tercantum nama-nama warga yang sudah meninggal atau pun pindah rumah. Ketidakakuratan data ini juga terjadi di semua DPT di kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak.
Karena data yang tidak akurat dan sikap apatis warga Putat Jaya ini membuat angka golput di kawasan tersebut mencapai lebih dari 55 persen “Yang datang kebanyakan rumah tangga biasa. Yang PSK sama sekali tidak ada yang datang,” beber Puji petugas di TPS 42 RW XII RT 5.
Yang menarik, kemeriahan pesta demokrasi ini menurut penduduk Putat Jaya, masih kalah dibanding pemilihan RW atau bahkan RT. “Kalau ada pemilihan RT pasti seru,” tutur Kartono.
Hingga akhir perhitungan suara, dari lima TPS yang sempat dipantau Surya, empat TPS memberi kemenangan untuk Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR). Pasangan ini kalah di TPS 46 RW XII yang memberi kemenangan pada Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam).
Di TPS ini, Salam memperoleh 57 suara. SR di posisi kedua dengan dukungan 48 suara, disusul Karsa (39), Kaji (28), dan Achsan hanya mendapat tujuh suara. “Nggak heran, Mas. Daerah ini kan memang basisnya PDIP,” ujar Udin, staf TPS 42 RW XII. (PRAMUDITO)
cerita ini saya peroleh dari alamat "disini" .
SURABAYA, KAMIS - Pesta demokrasi pertama di level Jatim terasa hambar di Dolly, lokalisasi paling lapang se-Asia Tenggara. Mayoritas mereka memilih golput, sebagaimana kecenderungan di luar Dolly. Demokrasi tidak lagi memesona?
Putat Jaya dan Kupang Gunung memang bukan kampung khusus mesum. Hanya saja, pekerja seks komersial (PSK) memang terkonsentrasi di kedua kampung itu. Setidaknya ada 800-an PSK yang menghuni wisma-wisma di wilayah RW 10, RW 12, dan RW 5, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. Namun, dari 800-an PSK itu tak lebih dari 10 persen yang mendatangi tempat pemungutan suara (TPS).
Kondisi sama terjadi di RW 7 dan RW 3. Para PSK memilih tetap tinggal di wisma masing-masing sambil menunggu 'tamu kesasar' di pagi hari itu. “Mas, ayo mampir, Mas. Enak mumpung masih sepi,” bujuk para makelar pada beberapa pria yang kebetulan lewat di kawasan Dolly.
Nggak ikutan nyoblos, Mbak? Ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pada beberapa penghuni wisma, mereka memperlihatkan ekspresi tidak bergairah. “Wis mari, Mas. Mau bengi. Malah ping bolak-balik. (sudah selesai, Mas. Tadi malam!)” kata Eni, penghuni salah satu wisma di Jl Putat Jaya 2A, dengan nada slengekan.
Sementara Dewi, penghuni wisma lainnya, berkomentar lebih apatis. ”Percuma, Mas. Siapa pun yang dipilih paling yo podo ae. Lagian, calon-calonnya nggak ada yang kenal. Mereka nggak pernah kampanye di sini. Mereka mana mau anggap kami ada!”
Ketika ditelurusi, ternyata tidak semua enggan menggunakan hak pilih. Sebagian besar lainnya malah tidak bisa datang ke TPS lantaran tidak mendapat undangan dari pihak RT/RW. “Sebagai warga negara, saya sebetulnya sudah berusaha menjalani aturan. Saya sudah mendaftarkan diri ke RT. Tapi nggak ada undangan, jadi otomatis saya nggak punya kartu pemilih,” ungkap Yuli yang mengaku asal Kediri.
Untuk pulang kampung dan menggunakan hak di tempat kelahiran, menurut Ima yang dari Banyuwangi, juga tidak mungkin. “Nggak imbang sama transportnya. Sekali pulang habis Rp 100.000, belum nanti mesti ninggali (uang) orang rumah. Wah, wis gak usah ae!” imbuhnya.
Kartono, warga Dolly, menyahut. “Saya aja enggak dapat kartu pemilih. Padahal, saya tinggal di sini (Putat Jaya) sejak tahun 1990-an, Jadi ya nggak ikut nyoblos, Mas,” kata Kartono yang mengaku masih mengantongi KTP Lawang, Malang.
Eko, petugas di TPS 28 RW 3 RT 5 Kelurahan Putat Jaya, mengaku, Daftar Pemilih Tetap (DPT) banyak yang tidak akurat karena menggunakan data warga tahun 1998. Tak heran jika dalam DPT itu tercantum nama-nama warga yang sudah meninggal atau pun pindah rumah. Ketidakakuratan data ini juga terjadi di semua DPT di kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak.
Karena data yang tidak akurat dan sikap apatis warga Putat Jaya ini membuat angka golput di kawasan tersebut mencapai lebih dari 55 persen “Yang datang kebanyakan rumah tangga biasa. Yang PSK sama sekali tidak ada yang datang,” beber Puji petugas di TPS 42 RW XII RT 5.
Yang menarik, kemeriahan pesta demokrasi ini menurut penduduk Putat Jaya, masih kalah dibanding pemilihan RW atau bahkan RT. “Kalau ada pemilihan RT pasti seru,” tutur Kartono.
Hingga akhir perhitungan suara, dari lima TPS yang sempat dipantau Surya, empat TPS memberi kemenangan untuk Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR). Pasangan ini kalah di TPS 46 RW XII yang memberi kemenangan pada Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam).
Di TPS ini, Salam memperoleh 57 suara. SR di posisi kedua dengan dukungan 48 suara, disusul Karsa (39), Kaji (28), dan Achsan hanya mendapat tujuh suara. “Nggak heran, Mas. Daerah ini kan memang basisnya PDIP,” ujar Udin, staf TPS 42 RW XII. (PRAMUDITO)
cerita ini saya peroleh dari alamat "disini" .
4 komentar:
bener juga tuh kata eni, buat apa nyoblos, wong tiap hari sudah dicoblos malah dikasih uang lagi abis dicoblos. "nambahin kata-kata eni yang kena sensor" kan mending dicoblos aja, sekali dijoblos uang daripada nyoblos gak dapet apa2
ha ha ha .. masukk juga kang .. saking blengere dicoblos sapek males nyoblos PILGUB .. ha ha ha
posting bulan Juli baru di posting bulan Agustus, dan sekarang malah Jovie baru tahu posting ini..
****************************
Telat gak nih??
komentku cuma : Jovie gak pernah terdaftar untuk pemilihan gubernur, presiden, pemilu, kades, dsb...pdhl umur Jovie udah >17 tahun lhoo..
pokoknya sampe sekarang belom pernah tahu nyoblos tuh kayak apa...
@ jovie : hehehee.. kaLo mo nYoba nyObLos coba aJ taNya ke paniTia apa saya boLeh nyobLos.. heheheee..
Posting Komentar